Archive for the ‘Taelli’ Category

Sorrow at Your Eyes (Part 2)

Posted: 31 Desember 2011 in Taelli

Title                  : Sorrow at Your Eyes

Author            : Park Sooyun

Cast                  : Choi Jinri, Lee Taemin

Genre              : Romance/Hurt/Comfort

Rating             : PG 13+

Length            : Captered

Hello all!!

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih pada chingu-chingu yang telah mengomen FF Sorrow at Your Eyes Part 1. Sekarang saya mau bawain yang part 2 ^_^

Saya juga minta maaf karena part kali ini gak ada gambarnya. Modem saya lemotnya minta ampun. Dan saya gak bisa upload gambar. Jeongmal mianhe … Nanti lain kali saya upload deh :)

Now, reading and enjoy …

Sorrow at Your Eyes

 

AUTHOR’S POV

 

Sulli menatap bayangan dirinya di depan cermin. Ia nampak cantik dengan balutan busana pengantin berwarna putih. Rambutnya digulung ke belakang sehingga tidak berantakan. Ia menatap sebuah notes yang ditempel di cermin.

            Sulli-ah! Selamat atas pernikahannya! Maaf aku tidak bisa datang. Hwaiting!!

Itu pesan dari Victoria onnie.

Sulli menundukkan kepalanya. Apa ia benar-benar sudah siap untuk menikah dengan Lee Taemin? Ia adalah seorang namja dingin dan benar-benar jutek dengan orang lain. Tidak. Bukan jutek. Lebih dari itu. Sulli merasa kalau Taemin membencinya. Entah kenapa Sulli merasa seperti itu. Padahal mereka baru bertemu beberapa hari yang lalu. Tidak mungkin ‘kan Taemin membenci Sulli yang notabene baru ia kenal?

Kemarin Sulli pulang dengan wajah kecewa bersama orang tuanya. Setelah Taemin meninggalkan dirinya sendirian, ia hanya duduk di ruangan selama hampir satu jam. Setelah itu, barulah ia menemui orang tuanya dan minta pamit. Tentu saja itu ia lakukan agar ia terlihat sedang mengobrol dengan Taemin tadi.

Ia tidak menyangka akan mendapatkan calon suami seperti Taemin. Bagaimana dengan kehidupannya setelah menikah nanti? Apakah Taemin akan terus bersikap seperti ini padanya?

$#@#$

Pernikahan Sulli dan Taemin diadakan secara tertutup. Hanya kerabat dan beberapa orang saja yang tahu tentang pernikahan mereka. Satu-satunya teman Sulli yang tahu tentang pernikahannya hanyalah Victoria. Sayang sekali ia tidak datang.

Setelah menjalani resepsi pernikahan yang melelahkan, Sulli dan Taemin pulang ke rumah. Kali ini mereka tidak pulang ke rumah orang tua Taemin, tapi ke sebuah rumah di tengah kota Seoul.

Selama resepsi tadi, perasaan Sulli terus tidak enak. Saat Sulli berjalan mendekati *bahasanya gak enak banget* altar, Taemin terus menatapnya dengan tatapan dingin. Sulli merasa sangat terintimidasi. Akhirnya ia mengucapkan sumpah *maaf kalo salah soalnya saya gak tahu apa namanya* pernikahan walaupun dengan gugup.

Setelah Sulli menganti gaun pernikahannya dengan baju tidur, ia berjalan menuju dapur untuk makan sesuatu. Perutnya sangat lapar.

“Taemin oppa, apa kau mau kumasakkan sesuatu?” tanya Sulli sambil tersenyum.

“Tidak usah. Aku tidak lapar,” jawab Taemin dengan dinginnya.

“Oh. Ya sudah kalau begitu,” kata Sulli sambil menundukkan kepalanya. Ia membuka kulkas dan mengambil setangkup roti beserta selai cokelat. Ia menggigit roti itu dan mengunyahnya perlahan.

Sulli melirik Taemin dengan pandangan was-was yang sedang menonton acara TV.

Kenapa dengan pria itu? Pikir Sulli. Apa ia begitu dingin? Bahkan ketika menonton TV tatapannya juga dingin. Dasar namja aneh.

Setelah kenyang, Sulli berjalan menuju kamarnya. Ia capek sekali. Ingin rasanya ia cepat-cepat berbaring dan tidur. Tiba-tiba langkah Sulli terhenti ketika ia sampai di kamar dan pandangannya terarah ke tempat tidur.

Apakah ia nanti akan menjalani ritual malam pertama dengan Taemin?

Muka Sulli langsung memerah. Ia tidak bisa membayangkan dirinya akan melakukan ‘itu’ nanti. ‘Ayolah Sulli!’ batinnya. ‘Jangan berpikiran seperti itu!’

Sulli masih saja berdiri di pinggir tempat tidur sampai Taemin masuk ke dalam.

“Kau belum tidur?” tanya Taemin dengan nada seperti biasanya, dingin.

Sulli menggeleng.

“Ya sudah. Aku tidur dulu.” Taemin naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut. Ia menyandarkan kepalanya di atas bantal yang empuk.

Mata Sulli melebar. Apa ia tidak tahu ‘kebiasaan’ pengantin baru? Ahh… Sudahlah. Mungkin Taemin terlalu capek. Sulli mengikuti Taemin dan naik ke atas tempat tidur.

Ia menatap punggung Taemin.

“Selamat tidur.”

Tidak ada balasan.

Sulli hanya menghela napas lalu tidur.

$#@#$

Matahari menyambut Sulli yang masih tertidur. Sulli mengerjapkan matanya lalu ia duduk di pinggir tempat tidur. Ia melirik ke arah kanannnya. Taemin tidak ada. Sepertinya ia sudah bangun. Sulli menghela napas.

Ia segera bangkit dan pergi ke dapur. Ketika sampai di dapur, ia hanya berdiri memandangi kitchen set yang ada dihadapannya.

Apa yang kira-kira harus kumasak? Pikir Sulli.

Ia sama sekali tidak tahu tentang masak-memasak dan bagaimana selera makan Taemin. Ia memutuskan untuk masak nasi goreng berhubung nasi goreng adalah makanan universal (?)

“Kau sudah mandi?” tanya Sulli ketika Taemin datang dan duduk di meja makan. Tangannya masih mengutak-atik nasi goreng yang sedang dibuatnya.

“Hm,” jawab Taemin pendek.

Sulli menata nasi gorengnya sedemikian rupa agar terlihat cantik. Ia membawa piring berisi nasi goreng itu ke Taemin.

“Ini sarapannya,” kata Sulli sambil tersenyum manis.

Taemin hanya menatap nasi goreng buatan Sulli dengan tatapan seperti merendahkan. Sulli menatap Taemin dengan was-was. Taemin mengambil sesuap nasi dan menyuapkannya ke mulutnya. Ia menguyahnya dan tiba-tiba…

“Bwehh! Rasanya terlalu asin!” Taemin meletakkan sendoknya ke piring dan langsung menyambar air putih yang ada didekatnya.

Sulli terlonjak kaget. “Benarkah?” Ia menyendokkan suapan pertama. Kening Sulli berkerut samar. Taemin benar. Rasanya terlalu asin.

“Kau ini bisa masak atau tidak sih!?” bentak Taemin.

“A…aku akan membuatkan yang baru.”

“Tidak usah! Lebih baik aku makan di luar saja!” Taemin menyambar tasnya dan pergi ke luar. “Kenapa aku mendapatkan istri yang tidak bisa diandalkan seperti dia?!”

Sulli hanya mematung ketika mendengar perkataan Taemin. Ia terduduk lemas di kursi. Air matanya meleleh. Kerja kerasnya untuk membuat sepiring nasi goreng hilang sudah. Ia tahu nasi gorengnya terlalu asin, tapi tidak bisakah Taemin menghargainya sedikit saja?

Sulli menyeka air matanya. Ia harus kuat. Ini baru ujian pertama menjadi seorang istri Lee Taemin.

$#@#$

Tok tok tok!

“Iya! Sebentar!” Sulli berjalan menghampiri pintu. Ia membuka pintu.

“Cepat bantu aku! Carikan sebuah map merah. Aku membutuhkannya sekarang.” Taemin langsung nyelonong masuk dan mengubrak-abrik semua laci dan lemari.

Sulli ikut membantu Taemin mencari map merah. Dalam hati Sulli merasa kesal. Tiba-tiba saja Taemin pulang ke rumah dan seenaknya menyuruhnya untuk mencari dokumennya. Ia membuka laci dan menemukan sebuah map merah diantar dokumen-dokumen lain.

“Ini map-nya,” kata Sulli pada Taemin.

Taemin melirik Sulli lalu mengambil map itu dengan kasar.

“Aku membutuhkan ini untuk rapat,” katanya lalu pergi begitu saja dari rumah.

Apa yang dilakukan Sulli? Tentu saja ia hanya berdiri mematung sambil menatap kepergian suaminya.

Setelah ia membantu Taemin mencari map itu, Taemin tidak berterima kasih padanya. Tersenyum pun tidak. Tangan Sulli gemetaran.

Ayo Sulli… Bertahanlah…

$#@#$

Sulli menenteng keranjang belanjanya dengan susah payah. Hari ini dia sedang berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari.

‘Beras sudah. Telur dan ayam juga sudah. Apalagi ya?’

“Kau Sulli ‘kan?” tanya seseorang.

Sulli membalikkan badannya. Seorang namja berdiri dihadapannya sambil tersenyum. Dia tinggi, berkulit putih, dan wajahnya menunjukkan kalau dia adalah orang baik.

“Iya. Aku Sulli. Apakah aku mengenalmu?” tanya Sulli sopan.

“Kau pasti tidak mengenalku,” kata namja itu. “Namaku Lee Jinki. Aku adalah rekan bisnis Taemin. Waktu itu aku datang ke pesta pernikahan Taemin, jadi aku mengenalmu.”

Sulli membungkukkan badannya 90 derajat. “Senang berkenalan denganmu, Jinki-ssi.”

Jinki tersenyum. Ia mengambil sebungkus sereal di rak lalu menaruhnya di keranjang.

“Kau pasti wanita yang tabah,” kata Jinki.

“Maksudmu?” tanya Sulli tidak mengerti.

“Taemin adalah orang yang dingin dan cuek pada orang lain. Dia jarang sekali berbicara kecuali pada teman dekatnya, aku misalnya. Bagi kebanyakan orang, Taemin adalah orang yang tidak menyenangkan. Tapi ia punya alasan untuk hal itu.”

“Alasan apa?”

“Ayah Taemin selalu mengekang hidup Taemin sejak kecil. Beliau memaksa Taemin untuk menuruti perkataannya. Karena sikap ayahnya, Taemin tidak punya teman. Ia selalu menyendiri sampai akhirnya ia bergabung di klub fisika dan bertemu denganku. Setelah itu kami berteman. Taemin pernah berkata padaku, ‘Kau harus mensyukuri hidupmu, hyung. Orang tuamu tidak pernah memaksamu untuk menjadi seseorang yang mereka kehendaki.’”

Sulli terdiam mendengar penjelasan Jinki.

“Selain itu,” lanjut Jinki. “Taemin pernah pacaran dengan seorang yeoja bernama Suzy. Tapi ayah Taemin tidak merestui hubungan Taemin dengan pacarnya. Aku tidak tahu alasannya, tapi yang pasti ayah Taemin tidak menyukai Suzy. Setelah Taemin putus dengan Suzy, Taemin berubah menjadi semakin dingin.”

Ternyata Taemin oppa punya alasan atas sikapnya, batin Sulli.

“Kau pasti wanita yang kuat karena bisa menghadapi Taemin selama itu.”

Sulli tersenyum dan menggeleng. “Aku bukan wanita sekuat itu. Pada kenyataannya, aku adalah wanita yang lemah.”

“Kau harus kuat,” kata Jinki. “Menghadapi Taemin adalah hal yang sulit—kuakui hal itu. Tapi jika kau terus bersabar, aku yakin Taemin akan berubah. Sampai saat ini, belum ada orang yang bisa merubahnya. Aku berharap kaulah orangnya karena kau adalah istri Taemin.”

Perkataan Jinki membuat Sulli terdiam. Jinki percaya bahwa Sulli bisa merubah Taemin suatu hari nanti. Sulli bahkan tidak pernah berpikir tentang semua itu.

Sulli tersenyum dan membungkuk pada Jinki.

“Terima kasih, Jinki-ssi.” Perkataanmu membuatku bertambah kuat.

$#@#$

Sudah hampir satu setengah bulan Sulli menyandang status sebagai istri Lee Taemin. Tapi status itu tidak membuat Taemin berubah. Justru Sulli merasa statusnya itu membuat Taemin semakin membenci dirinya.

Selama ini, Taemin tidak pernah menyentuhnya. Taemin tidak pernah berbicara banyak padanya. Ia tidak pernah mengucapkan terima kasih setelah Sulli membantunya. Ia sering pulang larut malam dan pergi lagi tanpa berkata apapun pada Sulli. Taemin bahkan tidak pernah tersenyum padanya.

Sulli makin merasa kalau ia dibenci Taemin. Wajar saja kalau Taemin membencinya. Ia pasti merasa terbebani ketika harus menikahi perempuan yang sama sekali tidak dicintainya.

Ia tahu Taemin tidak mencintainya. Tapi ia berharap Taemin mau menghargainya walaupun sedikit saja. Ia ingin Taemin menghargainya sebagai seorang istri. Selama ini, Sulli merasa sama sekali tidak dihargai. Ini membuatnya merasa semakin terbebani. Tapi ia tahu, dirinya haruslah kuat.

Tok tok tok!

Sulli bangun dari tidurnya.

‘Siapa yang mengetuk pintu malam-malam?’ pikirnya. ‘Mungkin Taemin oppa.’

Ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Matanya melebar ketika melihat seorang namja yang sedang berdiri di depan rumahnya dengan sempoyongan.

“Taemin oppa?!” Sulli langsung memapah Taemin ketika Taemin akan jatuh. Ia mencium aroma soju dari mulut Taemin. “Kau mabuk?”

“Aku tidakkkk…. Mabukkkk…..”

Sulli langsung membawa Taemin ke dalam.

“Kenapa kau bisa sampai mabuk?”

“Suuudaahh kubiilllaanggg…. Aku tiiidaakk mabukkk… Kau inii cereweett sekalii…”

Sulli hanya memutar matanya. “Sudahlah. Aku akan membawamu ke dalam.”

“Aku tidak mau!” Taemin menepis tangan Sulli. “Kau pikir aku mabuk? Aku tidakkk mabukk… Hu ughh *maksudnya Taemin lagi cegukan*” Taemin berdiri dengan sempoyongan.

“Apa maumu?” tanya Sulli.

“Aku ingin bersenang-senang… Hu ugh…”

Alis Sulli terangkat. “Maksud… Kyaaa!!”

Tiba-tiba saja Taemin mengangkat badan Sulli dan membopongnya menuju kamar. Taemin menaruh Sulli di atas kasur.

“Oppa… Apa yang mau kau lakukan?” tanya Sulli.

“Sudah kubilang ‘kan… Aku ingin bersenang-senang… Hiks…”

Taemin mencium bibir Sulli dengan kasar. Sulli terlonjak kaget.

“Le…pas…” Ia berusaha mendorong badan Taemin tetapi ia tidak kuat.

Taemin melepaskan ciumannya dan menatap wajah Sulli. “Ternyata kau cantik juga ya…”

Ia kembali mencium bibir Sulli dengan ganas. Sulli hanya terdiam dengan air mata meleleh dari matanya.

$#@#$

Kepala Sulli terasa pusing.

Ia mengerjapkan matanya lalu bangun dari tidurnya. Aww! Ia merasakan sakit ketika ia menggerakkan pahanya ke kiri. Ia terlonjak kaget ketika menyadari kalau ia tidak berbusana satupun. Lalu matanya melebar saat ia melihat bercak darah di selimut.

Sulli mengalihkan pandangannya ke arah orang yang ada disebelahnya. Taemin masih tertidur pulas. Sulli melihat dada bidang Taemin yang terbuka dan menyadari kalau Taemin juga tidak berbusana seperti dirinya.

Apakah ia sudah melakukan itu dengan Taemin?

Ya Tuhan… Ia tidak mungkin melakukan hal itu dengan Taemin.

Apa yang harus kuperbuat?

Sulli bangkit dari tidurnya dan langsung memakai baju. Ia mencoba untuk tenang walaupun ia masih agak shock. Ia berjalan menuju dapur untuk memasak sarapan.

$#@#$

Taemin memegangi kepalanya yang terasa seperti dihantam palu besar. Ia mencoba untuk duduk di pinggir tempat tidur. Setelah sakit kepalanya hilang, ia mencoba-coba untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi semalam.

Yang ia ingat, semalam sehabis pulang dari kantor, Jinki, rekan bisnisnya, mengajaknya untuk minum-minum di bar. Ia juga ingat kalau ia meneguk berbotol-botol soju sampai akhirnya ia mabuk total.

Sambil menguap, Taemin berdiri dan memandangi tempat tidurnya yang nampak berantakan.

‘Kenapa berantakan sekali?’

Ia terlonjak kaget ketika mendapati bercak darah menempel di selimut. Otaknya berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.

‘Apakah aku sudah melakukan itu dengannya?’

$#@#$

Sulli membalik telur dadar yang sedang digorengnya dengan tangan gemetar. Kejadian semalam membuatnya takut. Bagaimana kalau nanti Taemin memarahinya? Tapi jika Taemin memarahinya karena kejadian semalam, itu tidak masuk akal. Kejadian itu terjadi karena Taemin mabuk. Itu kesalahannya, bukan kesalahan Sulli. Walaupun begitu, Sulli masih saja merasa takut.

Ayo, Sulli! Tenangkan dirimu!

Tiba-tiba terdengar suara kursi yang digeser. Sulli membalikkan badannya dan mendapati Taemin sedang menatapnya dengan tatapan aneh.

Deg! Sulli merasakan ketakutannya bertambah. Ia segera berbalik lalu mengangkat telur dadar yang sedang digorengnya ke atas nasi goreng. Ia mengambil dan meletakkannya di hadapan Taemin.

“Ini sarapannya,” kata Sulli sambil mencoba untuk tersenyum.

Taemin memandanginya sebentar lalu menyuapkan suapan pertama. Sulli berbalik lagi dan memutuskan untuk mencuci peralatan masak yang tadi dipakainya. Daripada memandangi si namja aneh itu, pikir Sulli.

“Apa semalam aku mabuk?” tanya Taemin tiba-tiba.

Sulli terlonjak kaget. Ia menatap Taemin dengan takut. Lalu ia menganggukkan kepalanya pelan.

Setelah tahu jawaban Sulli, Taemin kembali menyuapkan nasi gorengnya ke mulutnya. Ia meminum air putih setelah nasi gorengnya habis. Taemin berdiri dan menyambar tas kantornya.

“Aku pergi ke kantor dulu,” katanya sambil berlalu.

Sulli menatap Taemin dengan pandangan bertanya-tanya.

Hanya itu?

 

$#@#$

Ini aneh, pikir Sulli. Sudah lewat hampir satu setengah bulan tapi aku belum dapat juga.

Sulli mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia bingung. Sudah hampir satu setengah bulan, tapi ia belum datang bulan juga. Jangan-jangan ia terkena penyakit? Kanker? Atau kista?

Ahh!! Ayo Sulli! Hilangkan pikiranmu yang paranoid itu.

Sulli berusaha untuk menghilangkan pikirannya yang kelewat batas itu. Akhirnya, daripada berdebat dengan otaknya yang paranoid, ia memilih untuk tidur karena hari sudah malam.

$#@#$

“Huekk!!”

Setelah bangun dari tidurnya, Sulli langsung pergi ke kamar mandi. Ia memuntahkan isi perutnya di wastafel. Ini aneh. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Apa ia benar-benar sakit?

Atau jangan-jangan…

Sulli segera pergi ke kamarnya dan kembali lagi ke kamar mandi dengan sebuah test pack atau alat penguji kehamilan *mian kalo namanya salah*

Ia segera mengetes urine-nya menggunakan alat itu. Setelah menunggu beberapa lama, alat itu bereaksi. Sulli membalikkan alat itu dengan perasaan berdebar-debar. Ya Tuhan… Apakah ia benar-benar hamil? Tapi semuanya pas. Ia tidak datang bulan sudah hampir satu setengah bulan dan perutnya sering terasa mual. Bukankah itu tanda-tanda kehamilan?

Mata Sulli melebar ketika melihat dua buah strip merah di ujung test pack yang ia pegang. Positif. Sulli terlonjak kaget. Perlahan, senyumnya mengembang. Ia berharap, dengan kehamilannya, Taemin dapat berubah.

Sulli segera pergi menemui Taemin yang sedang menonton televisi. Ia tak lupa membawa test pack yang tadi ia pakai.

“Taemin oppa! Aku ada kabar baik!” seru Sulli.

Taemin mengangkat alisnya. “Apa?” tanyanya acuh tak acuh.

“Aku hamil!” jawab Sulli sambil mengacungkan test pack yang ia pegang.

“Benarkah?” Taemin memandang test pack yang Sulli pegang. Ia berbalik menghadap TV lagi. “Baguslah kalau begitu.”

Sulli terdiam. Mengapa reaksinya hanya seperti ini? “Apa kau tidak senang?”

“Untuk apa aku senang? Anak itu bukan keinginanku. Lagipula aku melakukannya ketika aku tidak sadar.”

Perkataan Taemin membuat Sulli kaget setengah mati. Apa benar Taemin telah bicara seperti itu? Apa Taemin sebegitu tidak pedulinya pada Sulli?

Seluruh badan Sulli bergetar. Ingin rasanya ia menangis. Perkataan Taemin membuat hatinya sakit. Harga dirinya sebagai seorang wanita telah hilang. Ia merasa seperti wanita murahan yang tersebar di jalanan. Kenapa bisa-bisanya Taemin mengatakan hal yang menyakitkan hati seperti itu? Apa ia benar-benar tidak mengerti perasaan Sulli?

Mati-matian Sulli menahan air matanya. Meskipun begitu, rasa sakit di hatinya belum hilang juga. Sabar Sulli… Kau pasti bisa melewati semua ini, batinnya.

Sulli membalikkan badannya agar ia bisa menyembunyikan matanya yang mulai basah.

“Kau tidak pergi ke kantor?” tanya Sulli dengan nada seperti biasanya. Ia mengelap matanya yang basah.

“Hari ini aku libur,” jawab Taemin dingin.

Sulli hanya mengangguk. Ia berjalan menuju kamarnya. Sejenak ia berpikir. Ia membutuhkan seorang teman untuk diajak mengobrol. Selama tinggal dengan Taemin, Sulli belum pernah mendapatkan teman bicara yang menyenangkan. Apa ia sebaiknya pergi ke rumah orang tuanya?

Mungkin iya. Nanti Sulli bisa mengunjungi chingu-nya, Victoria. Betapa rindunya Sulli pada chingu-nya yang satu itu. Selain itu, sudah lama sekali Sulli tidak melihat appa dan umma-nya.

Sulli kembali lagi ke ruang TV.

“Nanti aku akan pergi ke rumah orang tuaku,” kata Sulli.

“Mau kuantar?” tanya Taemin.

Sulli menggeleng. “Tidak usah. Aku tidak mau menganggu liburanmu. Aku akan pergi dengan bis. Kemungkinan aku pulang besok pagi. Tidak apa-apa ‘kan kau ku tinggal sendiri?”

Taemin mengganti channel TV-nya. “Tidak masalah.”

“Baik kalau begitu.” Sulli mencoba tersenyum.

Ia kembali ke kamarnya dan mulai memberesi pakaiannya.

$#@#$

Setelah Sulli bertemu dengan orang tuanya dan Victoria, ia merasa mendapat kekuatan baru. Ia merasa bersemangat lagi untuk menjalani kehidupannya bersama Lee Taemin, sekalipun namja itu sering menyakitinya secara batin. Ia tahu bahwa sikap Taemin yang dingin padanya karena berbagai alasan. Ternyata Taemin sering mengalami tekanan yang berasal dari keluarganya sendiri. Dan Sulli yakin, suatu saat Taemin akan berubah. Keyakinan aneh itulah yang membuat Sulli bertahan menjadi istri Lee Taemin.

Dan tentang masalah kehamilannya, Sulli memutuskan untuk tidak menceritakannya pada orangtuanya atau siapapun. Menurutnya, ini bukanlah waktu yang tepat. Ia akan menceritakannya nanti.

Bis berhenti di sebuah halte. Sulli terpaksa berjalan ke rumahnya sambil membawa tasnya. Sebenarnya, Sulli ingin tinggal di rumah orang tuanya malam ini. Tapi entah mengapa, hatinya mengkhawatirkan Taemin.

Sulli tersenyum ketika melihat rumahnya. Tidak lama setelah itu alisnya terangkat saat melihat sebuah mobil silver terparkir di depan rumahnya. Seingatnya, mobil Taemin berwarna hitam, bukan silver.

Apa itu rekan bisnis Taemin oppa? Tapi oppa jarang sekali kedatangan rekan bisnisnya.

Daripada penasaran, Sulli memilih untuk masuk ke dalam rumahnya.

Saat Sulli memasuki rumah, terdengar suara Taemin yang sedang mengobrol dengan seseorang.

“Tentu saja Suzy-ah.”

Suzy-ah? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, pikir Sulli. Tunggu! Bukankah Suzy adalah mantan pacar Taemin oppa yang diceritakan Jinki-ssi?

Ketika ia masuk ke ruang keluarga, ia melihat Taemin sedang merangkul seorang yeoja. Ia terlonjat kaget. Taemin mendekatkan wajahnya ke wajah yeoja itu lalu memiringkannya, seperti akan menciumnya.

“Apa yang kau lakukan?!” teriak Sulli. Ia membanting tas-nya ke samping.

Sontak Taemin dan si yeoja melepaskan pelukan mereka dan menatap Sulli dengan tatapan kaget.

“Siapa dia, oppa?” tanya si yeoja.

Taemin hanya diam dan menundukkan kepalanya.

“Apa yang sudah kau lakukan, Taemin oppa?!” tanya Sulli dengan nada tinggi. Lalu ia memandangi si yeoja dengan tatapan tajam. “Siapa kau? Dan mengapa kau ada disini?!”

Yeoja itu menatap Sulli dan Taemin secara bergantian. “A…aku Suzy. Kau siapa?”

“Aku istri Lee Taemin!” seru Sulli.

Suzy terlonjak kaget. Lalu ia menatap Taemin dengan pandangan heran. “Kau tidak bilang padaku kalau kau sudah menikah.”

Air mata Sulli meleleh. Ia tidak kuat menghadapi kejadian tadi.

“Ma…maafkan aku,” kata Suzy terbata-bata. “Aku sama sekali tidak tahu kalau Taemin oppa sudah menikah. Lebih baik aku pergi.” Suzy menyambar tas-nya dan segera pergi.

“Suzy-ah! Tunggu!” Taemin berusaha untuk mengejar Suzy.

“Kau mau kemana?!” seru Sulli sambil menarik tangan Taemin.

Taemin menatap Sulli dengan pandangan dingin dan segera melepaskan tangannya dari cengkeraman Sulli. “Apa maumu?”

Sulli tersenyum sinis. Air mata masih mengalir dari pelupuk matanya. “Aku hanya ingin tahu. Ternyata ini yang dilakukan seorang suami ketika istrinya sedang pergi.”

“Kau tidak seharusnya melakukan itu pada Suzy.”

“Kau yang seharusnya tidak melakukan itu padaku!” teriak Sulli. Air mata mengalir deras dari matanya. “Apa kau tidak mengerti bagaimana perasaanku? Aku ini istrimu!”

“Secara hukum kau memang istriku. Tapi aku sama sekali tidak pernah menganggapmu sebagai istriku,” kata Taemin dingin.

“Jadi ini balasan yang aku terima setelah semua pengorbanan yang telah kulakukan? Aku telah mengorbankan semuanya. Keluargaku, teman-temanku, pekerjaanku, dan yang paling penting. Pendidikanku. Apa kau tidak tahu betapa pentingnya semua itu dalam hidupku?!”

“Lalu bagaimana denganmu?” Taemin balik bertanya. “Apa kau mengerti bagaimana perasaanku ketika aku harus menikahi yeoja yang sama sekali tidak aku cintai?”

Sulli menatap Taemin dengan tatapan nanar. “Kau kira aku tidak merasakan apa yang kau rasakan? Aku juga merasakannya!” Sulli mengusap matanya dengan tangan kanannya. “Kau tidak tahu bagaimana perasaanku menjadi istrimu bukan? Aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Melakukan ini, melakukan itu. Tapi semuanya serba salah. Kau selalu menyalahkanku. Dan ketika yang kulakukan benar, kau tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatapku dengan tatapan dingin.

“Aku tahu kau tidak mencintaiku dan aku sama sekali tidak berharap kau akan mencintaiku. Aku hanya berharap kau mau menghargaiku walaupun sedikit saja. Walaupun itu hanya sekedar ucapan terima kasih atau senyuman singkat.”

Taemin memandang Sulli dengan tatapan kaget. Ia tidak menyangka Sulli akan mengatakan itu.

“Aku sebenarnya tidak kuat menjadi istrimu. Tapi kau tahu apa yang bisa membuatku bertahan?” tanya Sulli. “Aku percaya kau akan berubah. Aku percaya suatu hari nanti kau akan menganggapku sebagai seorang istri. Tapi lihat apa yang kudapat sekarang? Aku hanya mendapat penghinaan dan pengkhianatan.

“Tadi pagi, aku memberitahumu kalau aku hamil. Aku berharap dengan kehamilan itu, kau akan merasa senang. Tapi apa yang kudapat? Kau hanya mengucapkan, ‘Untuk apa aku senang? Anak itu bukan keinginanku. Lagipula aku melakukannya saat aku tidak sadar.’ Lalu malam harinya, aku melihatmu hampir berciuman dengan wanita lain. Hati wanita mana yang tidak sakit melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain saat dirinya sedang hamil?!”

Sulli mengusap air matanya dengan kasar. Ya Tuhan… Aku sudah tidak kuat lagi…

“Aku…aku selalu berharap keajaiban akan datang. Keajaiban yang bisa membuatmu berubah. Tapi itu tidak kunjung datang. Aku tidak tahu kapan itu akan datang.” Air mata Sulli semakin deras. Ia mulai tersedu-sedu. Belum pernah dalam hidupnya, ia menangis seperti ini. Ia sudah mengungkapkan apa yang dirasakannya selama ini pada Taemin.

Taemin menatap Sulli dengan sedih. “Sulli… Aku tidak bermaksud…”

“Cukup,” potong Sulli. “Kalau kau tidak mencintaiku dan tidak mengharapkanku menjadi istrimu, lebih baik aku pergi sekarang.” Sulli menyambar tas-nya yang tadi ia lempar. “Maaf karena aku telah membebanimu selama ini.” Setelah mengatakan itu, Sulli melangkahkan kakinya keluar dari rumah ini.

“Sulli! Tunggu!” Taemin berlari mengejar Sulli.

Mata Sulli berkeliaran kesana kemarin mencari taksi.

“Taksi!” panggilnya ketika ia melihat sebuah taksi melintas. Ia segera masuk ke dalam taksi dan menutup pintunya dengan keras.

“Kau mau kemana Choi Sulli?!” teriak Taemin sambil berusaha untuk membuka pintu taksi.

Sulli hanya diam. Ia benar-benar sudah tidak tahan dengan semua perlakuan Taemin terhadapnya. Apalagi setelah kejadian tadi, Sulli merasa Taemin tidak membutuhkannya lagi.

“Cepat pergi,” kata Sulli pada supir taksi.

“Kemana?”

“Kemana saja asal pergi dari sini!”

Taksi pun melaju dengan kencang dari rumah Taemin.

“Arrgggghhhh!!!” Taemin berteriak sekencang-kencangnya. Ia menendang sebuah kerikil dan menatap bulan yang kelihatan pucat. Sang bulan balik menatap dan seolah-olah berkata ‘Inilah balasan atas keegoisanmu, Lee Taemin.’

‘Ya Tuhan… Apa aku sekejam itu?’ batinnya dalam hati.

Sorrow at Your Eyes (Part 1)

Posted: 4 Desember 2011 in Taelli
taelli

taelli cople

Title                : Sorrow at Your Eyes

Author           : Layla Noer Andiena

Main cast       : Choi Jinri, Lee Taemin

Genre             : Romance/Hurt/Comfort

Rating              : PG 13+

Length           : Chaptered

Hello hello *ala SHINee*

Ketemu sama saya lagi, si author narsis nan gaje…

Pada kesempatan kali ini, saya akan membawakan sebuah fanfic Taelli *lagi*

Semoga semuanya pada suka… Dan satu lagi. Saya minta maaf atas foto diatas *nunjuk2* Sumpah, fotonya jelek banget. Maklum, saya nggak terlalu pinter ngedir foto. Itu aja saya ngeditnya pake Picasa… Ya udahlah. Yang penting ada gambarnya…

NOT FOR PLAGIATORS AND SILENT READERS!!

Sorrow at Your Eyes

 

Normal POV

“Aku tidak bisa datang hari ini, Nyonya Soo.”

Sulli mengetukkan jarinya di atas meja. Ia mengembuskan napasnya dengan cukup keras. “Aku benar-benar tidak bisa datang.” Sulli mendengarkan lawan bicaranya di telepon dengan seksama. Ia menghela napas.

“Baiklah. Aku akan kesana,” katanya.

Sulli menyambar tasnya dengan keras dan berjalan keluar dari cafè. Ia sedang merasa kesal dengan Nyonya Soo, bos-nya. Barusan Nyonya Soo menyuruhnya untuk datang ke tokonya. Sulli memang bekerja di toko kue milik Nyonya Soo. Tapi ia seharusnya libur hari ini. Ia sangat lelah setelah seharian tadi mengerjakan tugas kuliahnya dan ia ingin menghabiskan sisa liburnya untuk beristirahat.

“Kenapa aku harus bekerja pada seseorang seperti Hitler?! Tahukah ia kalau aku sedang capek karena tugas-tugas sialan yang menumpuk itu?!” Sulli menghela napas. Ia harus sabar jika menghadapi seorang janda tua yang cerewet seperti Nyonya Soo.

Setelah lima belas menit berjalan menyusuri trotoar, Sulli sampai di depan sebuah toko kue. Ia masuk ke dalam toko kue itu.

“Nona Sulli,” kata Nyonya Soo dengan nada tinggi ketika melihat Sulli masuk. “Kenapa kau baru datang? Tahukah kau aku sedang kerepotan melayani pesanan kue yang menumpuk itu? Cepat kau pergi ke dapur sekarang.”

Tanpa bicara, Sulli masuk ke dapur dengan bibir manyun dan muka masam.

“Dimarahi Hitler lagi?”

Sulli melepas jaketnya dan mencantolkannya di tempat gantungan baju. “Begitulah, Victoria onnie.” Victoria terkikik pelan.

“Kau harus sabar menghadapi wanita seperti beliau,” kata Victoria bijak.

Sulli mendesah. “Aku tahu itu.” Ia mengambil sebungkus tepung terigu berukuran besar dan menuangkannya ke dalam mangkuk berukuran sedang. “Tapi aku benar-benar tidak tahu mengapa Tuan Jeung-yon bisa tahan bersekutu dengan Nyonya Soo.” Yang dimaksud dengan ‘sekutu Nyonya Soo’ adalah Tuan Kang Jeung-yon, rekan bisnis Nyonya Soo.

“Aku rasa karena dia Mussolini,” gurau Victoria.

“Hahaha.” Sulli hanya tertawa datar.

“Bagaimana dengan kuliahmu?” Victoria berusaha untuk mengalihkan topik.

“Biasalah. Tugas makin menumpuk,” jawab Sulli sambil mengaduk adonan yang sedang dibuatnya.

“Kau ini enak ya. Bisa mendapat beasiswa dan melanjutkan kuliah,” kata Victoria. “Aku iri lho.”

Sulli tertawa. “Onnie harus rajin mengirimkan permohonan beasiswa. Bukankah aku sering mengatakan itu pada onnie? Aku mendapat beasiswa karena aku mengirimkan permohonan beasiswa lewat internet.”

Victoria tersenyum. “Iya. Aku tahu itu. Aku berterima kasih atas saranmu. Tapi sepertinya aku tidak akan melanjutkan kuliah,” Victoria berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa peralatan lalu melanjutkan, “Keluargaku sedang menghadapi krisis ekonomi dan mereka membutuhkanku sebagai tulang punggung keluarga. Aku tidak punya waktu dan uang untuk kuliah.”

Sulli hanya tersenyum melihat sunbae-nya. Ia sangat bersyukur ia bisa punya kesempatan untuk melanjutkan kuliah.

$#@#$

Sulli mengelus punggungnya yang terasa sakit.

‘Kenapa aku bisa punya majikan seperti Hitler? Mengapa majikanku tidak seperti Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela?’ Sepanjang perjalanan, ia terus mengomel seperti itu.

Sulli berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan agak gelap. Hatinya agak was-was jika memikirkan berita tentang pemerkosaan yang banyak di siarkan di Korea akhir-akhir ini. Ia mempercepat langkahnya ketika mendengar suara gumaman seseorang. Akhirnya ia lari ketika mendengar langkah kaki orang itu.

“Hei! Tunggu!”

Sulli tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Dengan napas ngos-ngosan, ia terus berlari walaupun dadanya terasa sakit.

“Hei! Ini aku,” kata orang itu sambil menahan tangan Sulli yang berhasil ia susul.

Sulli berbalik. “Seunghyun oppa!”

Seunghyun hanya nyengir lebar melihat tatapan panik yang langsung hilang dan digantikan dengan tatapan sebal. “Kenapa kau mengendap-endap seperti itu?”

Seunghyun tertawa. “Kau tahu? Kau itu terlalu paranoid, Sulli.”

“Aku tidak paranoid,” kata Sulli kesal.

“Baiklah. Kau tidak paranoid. Hanya… sedikit berlebihan.”

Sulli memukul bahu Seunghyun pelan. Seunghyun hanya tertawa. “Omong-omong kenapa sekarang baru pulang?” Seunghyun melirik jam tangannya. “Hampir jam sebelas.”

“Pesanan kali ini meningkat drastis dan kami sempat kewalahan menghadapi pesanan,” jawab Sulli. Ia tidak mau menceritakan tentang Nyonya Soo. “Aku dan pekerja lain terpaksa lembur untuk memenuhi pesanan.” Sulli menatap Seung hyun. “Lalu kenapa kau ada disini?”

“Aku keluar untuk membeli minuman di minimarket. Tapi mini market-nya sudah tutup.”

“Oh,” kata Sulli singkat. Ia menatap langit malam yang makin gelap. “Aku harus pulang sekarang, Oppa. Jika aku tidak sampai di rumah 10 menit lagi, aku bisa dimarahi umma.”

“Kau mau kuantar?” tanya Seunghyun.

Sulli menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri.”

Seunghyun menatap Sulli ragu. “Kau yakin?”

“Ya,” jawab Sulli. “Selamat malam.” Sulli segera pergi meninggalkan Seunghyun sambil melambaikan tangannya. “Dah.”

“Hati-hati.”

Sulli mempercepat langkahnya karena hari sudah semakin malam dan udara semakin dingin. Ia merapatkan jaketnya dan mulai menggigil. Hari semakin gelap dan Sulli mulai meragukan jawabannya agar tidak diantar oleh Seunghyun.

Dasar bodoh. Kenapa kau tidak mau diantar oleh Seunghyun oppa? Ahh… tapi aku tidak mau merepotkannya. Sulli mengalami pergolakan batin.

Seunghyun adalah teman Sulli. Ia bertemu dengan Seunghyun ketika ia tidak sengaja menabrak Seunghyun dengan sepedanya. Sekarang Sulli berumur 20 tahun. Itu artinya ia berteman dengan Seunghyun sudah hampir 10 tahun. Hmm. Cukup lama juga.

Sulli merasa nyaman jika ia berada di dekat Seunghyun. Seunghyun selalu membantunya dan melindunginya ketika ada masalah. Pernah suatu kali, Sulli diganggu oleh sekelompok berandalan. Tiba-tiba Seunghyun datang dan menghajar berandalan itu satu persatu. Sulli bersyukur ia bisa mendapat teman seperti Seunghyun. Seunghyun selalu tersenyum dan bersikap ramah padanya. Ia tidak tahu kenapa Seunghyun begitu peduli padanya. Ia juga tidak tahu apa yang Seunghyun rasakan padanya. Sulli hanya merasa Seunghyun seperti kakak laki-laki baginya.

$@#@$

Sinar matahari menerobos masuk dan membuat kepala Sulli pusing.

Ya Tuhan… Jam berapa sekarang?

Sulli melirik jam wekernya. Jam 7 lewat 13 menit. Kenapa wekernya tidak bunyi? Pikirnya. Ia bergegas bangun dan berlari menuju kamar mandi. Dua menit kemudian ia kembali dan langsung memakai baju dengan sangat cepat.

Hari ini Sulli ada ujian semester di kampusnya. Ujian ini sangat penting karena jika ia tidak lulus, ia harus mengulang semester sebelumnya. Jerih payahnya akan sia-sia selama ini. Sulli berlari menuruni tangga dan sempat tersandung sebelum akhirnya ia berdiri tegak di ruang makan.

“Anneyeong Appa, Umma,” sapa Sulli. Ia menyambar setangkup roti dan langsung memakannya.

Tuan Choi memandang anaknya dengan tatapan heran. “Tumben buru-buru sekali. Ada apa?”

“Uhhjhiyaannn zemmestter,” jawab Sulli dengan mulut penuh roti.

“Jangan berbicara sambil makan,” tegur Nyonya Choi pada Sulli.

Tuan Choi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sudah ya, Umma, Appa. Aku harus berangkat sekarang. Anneyeong!” Sulli berlari keluar rumah dan mengejar bus.

Tuan Choi kembali membaca koran yang ia pegang.

“Apa kau akan bilang pada Sulli?” tanya Nyonya Choi.

Tuan Choi mendongakkan kepalanya. “Soal apa?”

“Soal hutang kita dan masalah kita pada keluarga Lee.”

Setelah mendengar jawaban Nyonya Choi, Tuan Choi terdiam. Ia berpikir sejenak. “Tentu saja aku akan bilang padanya.”

“Kapan?” tanya Nyonya Choi tidak sabar.

“Secepatnya,” jawab Tuan Choi. “Mungkin nanti setelah ia pulang kuliah atau besok.”

Nyonya Choi memandangi suaminya sambil membereskan piring-piring yang ada di meja. “Kau harus menceritakannya pada Sulli-ah. Bagaimanapun, masalah ini telah menyeret namanya.”

“Aku tahu. Kau jangan khawatir. Aku akan menceritakannya pada Sulli-ah.”

$@#@$

Ujian kali ini berlangsung dengan sangat lancar. Kebetulan tadi soalnya mudah sehingga Sulli bisa mengerjakannya. Sulli melangkahkan kakinya dengan perasaan ringan. Ia yakin ujian kali ini ia akan mendapatkan nilai yang baik. Ia sudah belajar dengan keras supaya bisa lulus. Sulli membayangkan dirinya ketika ia sudah lulus kuliah dan menjadi seorang dokter yang sukses. Ya. Sulli ingin sekali menjadi seorang dokter. Itu adalah impian yang sudah lama diimpikannya.

Ketika ia lolos menjadi penerima beasiswa, ia sangat senang. Ia menerima beasiswa itu setelah melalui tes yang sangat sulit dan wawancara dengan calon dosen-nya. Sulli merasa ia tidak akan mendapatkan beasiswa itu karena ia bukanlah anak yang sangat cerdas. Sulli memang pintar, tapi ia merasa kepintarannya itu adalah hal yang biasa saja. Tidak ada istimewanya.

Tinnn tinnn!!

Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Sulli. Ia segera berlari menghindari mobil yang tadi mengklaksoninya.

“Hati-hati kalau jalan!” teriak orang yang mengendarainya mobil itu.

Sulli menatap mobil yang tadi akan menabraknya dengan tatapan kesal. “Hei! Jangan salahkan orang lain! Salahmu tadi tidak melihatku sedang menyebrang jalan!” teriaknya meskipun mobil itu menjauh. Sulli mendecakkan lidah. Dasar orang buta, batin Sulli. Apa dia tidak melihat kalau aku sedang menyebrang jalan?

Sulli kembali melakukan perjalanannya menuju rumah. Dengan sekuat hati, ia berusaha untuk melupakan kejadian tadi.

Ketika sampai di depan rumahnya, betapa kagetnya Sulli ketika ia melihat sebuah mobil hitam mengkilat parkir di depan rumahnya.

Wow. Ini Porsche tipe terbaru, gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dan keluarlah seorang laki-laki paruh baya bersama ayah dan ibunya. Laki-laki itu memakai jas hitam dan celana hitam yang kelihatan mahal.

“Kami akan membicarakan hal itu pada putri kami,” kata Tuan Choi.

Sulli terlonjak kaget. Kenapa namanya ikut disebut-sebut?

“Ya. Saya mengerti kenapa ini menjadi keputusan yang sulit bagi Anda,” kata laki-laki paruh baya itu. Pria itu tiba-tiba menatap Sulli. “Itu anak Anda?”

Tuan Choi mengangguk. “Ya. Itu putri saya, Sulli.”

“Dia yeoja yang cantik. Cocok sekali dengan anak saya.” Pria itu kembali menatap ayah Sulli.

“Saya harap anak Anda mau dengan putri saya,” kata Tuan Choi.

“Saya juga berharap begitu. Nah, Tuan Choi. Saya masih banyak urusan yang harus saya kerjakan. Saya permisi dulu.” Pria itu berpamitan pada orang tua Sulli dan berjalan menuju mobilnya. Ia tersenyum pada Sulli ketika ia melewati Sulli.

Sulli segera menghampiri kedua orang tuanya.

“Siapa dia?” tanyanya sambil menunjuk mobil Porsche hitam yang telah pergi.

“Itu Tuan Lee,” jawab Nyonya Choi.

Sulli mengangkat alisnya. Tuan Lee? Siapa dia? Apa dia teman Appa? “Lalu kenapa tadi kalian membicarakan aku? Ada apa?”

Tuan Choi dan Nyonya Choi berpandangan. Lalu Tuan Choi berganti menatap wajah Sulli. Ia mengusap wajahnya.

“Ayo, Sulli-ah. Ada yang Appa ingin bicarakan padamu.”

$#@#$

“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Sulli sambil memandang wajah kedua orang tuanya secara bergantian.

Nyonya Choi menatap wajah suaminya. Ia menunggu suaminya berbicara.

“Jadi begini,” Tuan Choi berusaha berbicara dengan santai. “Kau tahu ‘kan kalau Appa punya hutang dengan Tuan Lee?”

Sulli mengangkat alisnya. Yang dimaksud dengan Tuan Lee adalah pria yang tadi? Pikir Sulli. “Iya. Appa pernah menceritakannya padaku.”

“Tuan Lee sudah banyak membantu keluarga kita, terutama dalam masalah keuangan. Pekerjaan appa sebagai seorang guru tidak cukup untuk membiayai sekolahmu, Sulli-ah. Appa sering meminjam uang pada Tuan Lee. Untungnya Tuan Lee adalah orang yang baik dan mau membantu kita. Tanpa dia, kau tidak bisa melanjutkan sekolahmu sampai ke perguruan tinggi.” Tuan Choi memandangi anaknya. “Appa ingin sekali membalas kebaikan Tuan Lee dengan membayar hutang-hutang Appa. Tapi Appa tidak punya uang yang cukup dan tabungan Appa sudah hampir habis. Satu-satunya cara agar Appa dapat melunasi hutang Appa adalah menjodohkanmu dengan anak Tuan Lee.”

Bagai petir di siang bolong. Sulli terlonjak kaget melihat perkataan appa-nya. Apa ayahnya serius mau menjodohkannya dengan anak Tuan Lee?

“Appa bercanda ‘kan?” tanya Sulli.

“Appa serius, Sulli-ah.”

“Tapi bagaimana dengan kuliahku?”

Tuan Choi menghela napas. “Kau harus berhenti kuliah, Sulli-ah.”

Sulli hampir saja berteriak ketika mendengar jawaban ayahnya. “Hah!? Aku harus berhenti kuliah!? Appa, aku mendapatkan beasiswa itu dengan susah payah. Aku tidak bisa berhenti kuliah sekarang.”

“Appa tahu perasaanmu. Tapi tidak ada jalan lain selain kau berhenti kuliah dan menikah dengan anak Tuan Lee,” kata Tuan Choi.

Mata Sulli berkaca-kaca. “Aku tidak keberatan jika aku dijodohkan. Tapi, jika aku harus berhenti kuliah…” Sulli berhenti berbicara. Air mata turun dari matanya. “Aku tidak bisa Appa. Appa tahu sendiri ‘kan apa impianku?” Sulli menatap ayahnya. “Impianku adalah ingin menjadi seorang dokter. Dan itu tidak bisa dicapai jika aku tidak kuliah.”

“Appa tahu semua itu. Appa tahu kalau kau terus berjuang untuk meraih impianmu, Sulli-ah. Appa juga berat untuk mengatakan hal ini padamu. Tapi nasib kita berada pada perjodohan itu.”

Air mata Sulli terus mengalir. Apakah ia harus merelakan semua perjuangannya pergi dengan sia-sia? Ia sudah bekerja keras untuk mendapatkan beasiswa agar bisa melanjutkan kuliah. Tapi kini ia harus merelakan perjuangannya hanya karena dijodohkan dengan pria yang bahkan tidak dikenalnya. Sulli tidak peduli jika ia dijodohkan dengan anak Tuan Lee. Ia hanya peduli pada nasib pendidikannya. Impian untuk menjadi seorang dokter dan menjadi kebanggaan orangtua harus ia kubur dalam-dalam di lubuk hatinya.

“Tuan Lee tidak pernah memaksa appa untuk melunasi hutang-hutang itu segera,” kata Tuan Choi. “Tapi appa tidak mau terus membebani keluarga kita dengan hutang yang sangat banyak. Gaji appa sebagai guru tidak cukup untuk melunasi hutang. Ibumu pun sudah tidak kuat menjahit lagi karena sudah tua. Satu-satunya cara agar appa dapat melunasi hutang adalah dengan menjodohkanmu. Sulli-ah, kuharap kau mengerti…”

Sulli bangkit dan berlari menuju kamarnya. Ia membanting pintu dan menguncinya rapat-rapat. Ia terus menangis tanpa henti.

“Sulli-ah. Appa ingin bicara padamu. Buka pintunya,” teriak Tuan Choi dari luar.

“Sudahlah. Jika Sulli tidak mau, jangan dipaksakan.” Sayup-sayup terdengar suara Nyonya Choi.

Tuan Choi akhirnya menyerah. “Baiklah Sulli. Jika kau tidak mau, kau tidak jadi kujodohkan dengan anak Tuan Lee.” Tuan Choi menatap wajah istrinya. “Aku harus membuka lels privat agar dapat membayar hutang kita pada Tuan Lee.”

“Aku juga akan menjahit lagi untuk membantumu, suamiku,” kata Nyonya Choi.

Tuan Choi dan Nyonya Choi pergi menuju ruang keluarga. Sulli hanya tertegun mendengar perkataan ayah dan ibunya di luar tadi. Apa ia tega membiarkan ayah dan ibunya yang sudah tua untuk bekerja? Ayah Sulli sudah tua dan jantungnya sering kumat jika ia sedang lelah. Begitu pula dengan ibunya. Nyonya Choi sudah lama menderita penyakit asma. Mereka berdua sudah tua dan sering sakit-sakitan. Apakah Sulli berani berbuat begitu?

Ia mulai berpikir.  Sebagai seorang anak, yang harus dilakukannya adalah berbakti kepada orang tua dan berusaha membahagiakan mereka. Sulli ingin membahagiakan orang tuanya dengan cara menjadi seorang dokter. Tapi cita-cita itu terganjal dengan hutang-hutang ayahnya yang menumpuk. Sulli tahu kalau ayahnya sering meminjam uang pada Tuan Lee untuk membiayai pendidikannya sewaktu ia masuk SMP. Saat itu Sulli masuk ke SMP favorit dan biaya pendidikannya sangat besar. Sulli sangat ingin bersekolah disana dan ayahnya tidak tega untuk memindahkan Sulli ke sekolah lain hanya karena masalah biaya. Betapa besar pengorbanan ayahnya.

Jika memikirkan semua itu, akibatnya akan berujung pada masalah perjodohan tadi. Meskipun Tuan Lee tidak memaksa ayah Sulli untuk membayar hutangnya segera, lambat laun ia pasti akan menagih hutang ayahnya. Dan satu-satunya cara agar keluarga terbebas dari hutang itu adalah ia harus dijodohkan dengan anak Tuan Lee.

Sulli tahu keputusannya akan berdampak pada nasib keluarganya kelak.

$#@#$

Tuan Choi duduk bersila sambil menyeruput teh hangat. Di tangannya terdapat koran. Matanya terus menyulusuri setiap kata, berharap ada orang yang memasang iklan dan membutuhkan jasa guru privat.

“Appa, aku ingin bicara denganmu.”

Tuan Choi mengangkat matanya dari koran yang sedang ia baca.. Dilihatnya Sulli berdiri dihadapannya. Wajahnya kelihatan depresi dan matanya sembab.

“Ada apa Sulli-ah?” tanya Tuan Choi.

Sulli duduk tepat di depan ayahnya. “Aku ingin membicarakan sesuatu.”

“Tentang?”

Sulli menelan ludahnya. “Tentang perjodohan itu.”

“Sudah kukatakan padamu. Jika kau tidak mau dijodohkan dengan anak Tuan Lee, tidak apa-apa…”

“Bukan itu,” potong Sulli cepat. “Aku sudah memikirkan tentang perjodohan itu. Dan aku setuju untuk dijodohkan dengan anak Tuan Lee.”

Tuan Choi terlonjak kaget. “Apa?! Kau serius?”

Sulli mengangguk. ‘Hanya ini satu-satunya cara agar aku dapat membahagiakan kalian,’ batin Sulli.

“Syukurlah Sulli! Appa lega akhirnya kau menyetujui perjodohan ini. Bu… Bu! Cepat kesini!”

Nyonya Choi datang dengan tergesa-gesa. “Ada apa?”

“Sulli setuju dengan perjodohan itu,” jawab Tuan Choi dengan gembira.

“Jeongmal!?” Nyonya Choi menatap Sulli. “Syukurlah kalau begitu. Akhirnya hutang kita pada Tuan Lee dapat terlunasi.”

Sulli mencoba untuk tersenyum kepada orangtuanya meski hatinya tidak rela.

$#@#$

“Pernikahanmu akan diadakan minggu depan.”

Sulli tersedak mendengar perkataan ayahnya.

“Mwo?! Kenapa mendadak sekali?”

Tuan Choi mengangkat bahunya. “Appa juga tidak tahu kenapa. Tuan Lee yang bilang pada Appa kemarin.” Tuan Choi memperhatikan anaknya yang diam saja. “Kau kenapa Sulli?”

“Aku tidak apa-apa,” jawab Sulli cepat. “Aku hanya kaget dengan pernikahan itu.”

“Tidak heran jika kau kaget,” kata Nyonya Choi tiba-tiba. “Umma juga kaget ketika mendengar kau akan menikah minggu depan.”

Sulli memanyunkan (bahasa apa ini??!!) bibirnya. “Tapi ‘kan aku belum pernah melihat seperti apa anak Tuan Lee,” kata Sulli.

“Tenang saja. Tuan Lee  sudah mengatur pertemuan kalian. Rencananya, kalian akan bertemu besok di rumah keluarga Lee,” kata Tuan Choi.

“Jinjja? Apakah dia tampan?” tanya Sulli penasaran.

“Ya. Dia tampan.”

“Asyik. Setidaknya dia tampan,” kata Sulli sambil tersenyum. Ia berusaha tersenyum hari ini meski hatinya masih sama seperti kemarin. Tuan dan Nyonya Choi hanya tersenyum melihat anaknya.

$#@#$

Sulli duduk terdiam di kamarnya. Pikirannya berseliweran kemana-kemana. Mulai dari kuliahnya, teman-temannya, lalu belok ke chingu kesayangannya, Victoria. Setelah itu pindah lagi ke Nyonya Soo—ia bahkan berharap bisa tetap bekerja padanya daripada berhenti kuliah—dan berhenti pada perjodohan antara dirinya dan anak tuan Lee. Ia tidak menyangka hidupnya akan seperti ini. Sulli tahu ini bukanlah akhir dari hidupnya. Tapi ia juga tahu tidak ada lagi harapan untuk meraih impian yang telah menghias kehidupannya selama ini.

Seharusnya semua ini tidak terjadi padaku…

Sulli tidak menyalahkan ayahnya atas perjodohan itu dan putus kuliahnya. Ayahnya hanya berusaha untuk membantu dirinya meraih impiannya. Ia  tahu ayahnya terpaksa menyuruhnya untuk berhenti kuliah karena hutang-hutang itu. Ia tahu ayahnya sangat menyayanginya. Sulli hanya berusaha untuk tegar dan menerima semuanya. Ia berharap calon suaminya nanti adalah pria yang baik dan mengerti akan dirinya.

Ia juga berusaha untuk melupakan kuliahnya. Ia mencoba untuk menerima semuanya. Ia sudah mampu menerima perjodohan itu. Tetapi soal pendidikannya, ia rasa ia tidak bisa menerimanya. Bukan tidak. Belum. Ya, hanya belum. Ia hanya belum bisa menerima soal pendidikannya.

Sulli menghela napas. Ia mencoba tersenyum.

Ayo Sulli! Jangan biarkan dirimu patah semangat. Hwaiting!!

$#@#$

“Sulli… Cepatlah kau keluar,” teriak Nyonya Choi dari luar.

“Ya, Umma.”

Sulli segera menata rambutnya yang masih berantakan. Ia asal-asalan menyisir rambutnya. Setelah rambutnya tertata—walaupun asal-asalan—Sulli segera turun ke bawah untuk menemui ayah dan ibunya yang telah menunggu.

“Omo! Kau cantik sekali Sulli-ah!” seru Nyonya Choi begitu melihat Sulli.

Sulli hanya tersenyum mendengar perkataan ibunya. Hari ini ia memakai dress berwarna hijau muda. Rambut panjangnya tergerai bebas *bayangin aja penampilan Sulli yang di Hot Summer*

“Gomawo Umma,” kata Sulli.

“Lebih baik kita berangkat sekarang,” kata Tuan Choi.

“Ayo.”

$#@#$

Setelah menempuh perjalanan panjang dan membosankan, akhirnya Sulli beserta orangtuanya sampai di sebuah rumah mewah. Sulli menatap rumah itu dengan pandangan kagum.

Wow, batinnya. Besar sekali rumahnya.

Orang tua Sulli berdiri di depan pintu dan menekan bel. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dan membukakan pintu.

“Mari masuk. Tuan Lee beserta keluarga telah menunggu kalian,” kata pelayan itu.

Mereka bertiga masuk dengan dipandu oleh pelayan tadi. Sulli tidak berhenti menatap bagian dalam rumah itu. Rumah keluarga Lee sangatlah mewah dan luas. Terdapat banyak perabot mengkilap dan kelihatan mahal yang dipajang di sana-sini. Pantas saja ayahnya sering meminjam uang pada Tuan Lee.

Sulli sampai di sebuah ruangan yang cukup luas. Ia melihat pria paruh baya yang ia lihat kemarin di rumahnya. Itu adalah Tuan Lee. Ia sedang duduk bersama seorang wanita yang seumuran dengannya. Kelihatannya itu istrinya.

“Selamat datang di rumah saya, Tuan Choi,” kata Tuan Lee sambil berdiri. Istrinya berdiri lalu  membungkukkan badan. “Maaf membuat Anda menunggu lama. Silahkan duduk.”

Sulli dan orang tuanya duduk di sofa.

“Saya sangat senang akhirnya putri Anda menyetujui perjodohan itu,” kata Tuan Lee. “Maaf jika Anda menganggap saya terlalu memaksa.”

“Tidak Tuan Lee,” Ayah Sulli menggelengkan kepalanya. “Justru saya merasa sangat terbantu dengan perjodohan itu. Anda sangat baik telah memberikan kesempatan untuk saya untuk membayar semua hutang-hutang itu walaupun pada akhirnya saya tidak dapat melunasinya dengan uang.”

“Saya sangat senang dapat membantu Anda.” Tuan Lee mengalihkan pandangannya ke Sulli. “Halo Sulli. Bagaimana kabarmu?”

“Saya baik-baik saja,” jawab Sulli sambil tersenyum. Ia agak gugup saat bertemu err… calon mertuanya.

“Jadi ini yang namanya Sulli?” tanya Nyonya Lee sambil memandang Sulli. “Wah… Ternyata cantik ya.”

Wajah Sulli memerah. “Te… terima kasih.”

“Kau pasti ingin bertemu dengan anak kami, Sulli. Tentu saja. Dia ‘kan calon suamimu. Tapi aku harus bilang padamu beberapa hal. Anak kami agak pendiam. Mungkin kau tidak akan menyukainya saat pertama kali bertemu. Tapi sejujurnya, dia sangatlah baik,” kata Tuan Lee.

Sulli hanya mengangguk.

“Baiklah,” Tuan Lee berkata dengan penuh semangat. “Pelayan! Panggil Taemin ke sini!”

“Baik, Tuan,” sahut si pelayan.

Sulli merasa sangat gugup sekarang. Ia akan bertemu calon suaminya. Bagaimana rupa suaminya? Apakah dia tampan seperti yang dikatakan ayahnya? Apakah ia baik seperti kata Tuan Lee? Semoga saja iya.

Beberapa menit kemudian munculah seorang namja. Ia tinggi, berkulit putih dan berwajah tampan. Ia menatap Sulli dengan tatapan dingin.

Tatapan macam apa itu? Pikir Sulli. Tatapannya seperti penuh dengan kebencian.

“Perkenalkan. Ini anak kami, Taemin.”

Taemin membungkukkan badannya 90 derajat. “Lee Taemin imnida. Biasa dipanggil Taemin.” Wajahnnya masih tetap sama, dingin seperti es.

Well, saya rasa kami semua harus meninggalkan kalian berdua untuk yah… mengenal satu sama lain. Mari, Tuan dan Nyonya Choi.” Orang tua Sulli, Tuan Lee dan Nyonya Lee keluar dari ruangan itu. Tinggallah Sulli dan Taemin sendirian.

Sulli merasa canggung. Bagaimana caranya memulai percakapan jika Taemin menatapnya dengan tatapan dingin seperti itu?

“Ehm… perkenalkan, namaku Choi Sulli,” kata Sulli sambil tersenyum. Ia menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

“Aku Taemin. Senang berkenalan denganmu,” balas Taemin dingin. Ia masih saja menatap Sulli dengan tatapan dingin. Tiba-tiba ia berjalan menjauhi Sulli. “Dengar,” kata Taemin tanpa menolehkan tatapannya. “Aku sama sekali tidak peduli denganmu atau perjodohan itu. Mungkin bagimu aku adalah orang yang tidak menyenangkan. Tapi itu resikomu karena mau menikah denganku.” Setelah berkata seperti itu, Taemin keluar ruangan dan meninggalkan Sulli sendirian.

Sulli berdiri mematung setelah mendengar perkataan Taemin.

Ya Tuhan… Apa aku harus menikah dengan namja seperti dia?